Detail Karya Ilmiah

  • Kewenangan Kejaksaan Melakukan Penyidikan Dalam Hal Tindak Pidana Korupsi
    Penulis : Bayu Cristanto Adi
    Dosen Pembimbing I : Dr. Deni Setya Bagus Yuherawan, S.H., MS.
    Dosen Pembimbing II :
    Abstraksi

    Dalam tindak pidana korupsi terdapat 3 (tiga) lembaga yang selama ini pada prakteknya bertindak sebagai penyidik tindak pidana korupsi yaitu : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kewenangan penyidikannya terdapat pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang kewenangan penyidikannya terdapat pada KUHAP dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, kemudian kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang selama ini berada pada Kejaksaan. Kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan Kejaksaan berdasar pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Namun dalam Undang-undang tersebut tidak terdapat satu pasalpun yang memberi kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Penulisan skripsi ini menggunakan penelitian normatif yang difokuskan dengan menelaah aturan terkait kewenangan kejaksaan melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu Pendekatan perundang – undangan (Statute Approach) dan Pendekatan kasus (Case Approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jaksa tidak memiliki kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, karena yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak pernah menyebut bahwa kejaksaan berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Tapi harus ada ketentuan perundang-undangan tertentu yang secara eksplisit memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Kata kunci : penyidikan, kejaksaan, tindak pidana korupsi.

    Abstraction

    ABSTRACT In corruption there are 3 (three) institutions which so far in practice act as investigators of criminal acts of corruption, namely: Corruption Eradication Commission (KPK) whose investigative powers are contained in Law Number 30 of 2002 concerning KPK, Indonesian National Police (Polri) the investigative authority is contained in the Criminal Procedure Code and Law Number 2 of 2002 concerning the National Police, then the authority to investigate corruption crimes that have been with the Attorney General's Office. The authority to investigate corruption in the Prosecutor's Office is based on Law Number 16 of 2004 concerning the Prosecutor's Office. However, in the Law there is not a single article which authorizes the prosecutor to investigate corruption. The writing of this thesis uses normative research which is focused by examining the rules related to the authority of the prosecutor's office to investigate corruption. By using two approaches, namely the Statute Approach and Case Approach. The results of the study show that the prosecutor does not have the authority to investigate corruption, because what is meant in the explanation of Article 30 paragraph (1) letter d of Law Number 16 Year 2004 concerning the Prosecutor's Office, namely Law Number 31 Year 1999 concerning Eradication of Corruption is not once stated that the prosecutor's office has the authority to investigate corruption. But there must be certain statutory provisions that explicitly give authority to the prosecutor to investigate criminal acts of corruption. Keywords: investigation, prosecutor's office, criminal acts of corruption.

Detail Jurnal