Detail Karya Ilmiah
-
KEABSAHAN KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 20P/HUM/2017Penulis : HAMDI FADLIDosen Pembimbing I : FAUZIN S.H.,LL.MDosen Pembimbing II :Abstraksi
ABSTRAK Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam membuat peraturan tata tertib untuk mengatur lembaganya itu di amanahkan di dalam pasal 252 ayat 7 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD,DPRD (MD3) dalam hal ini di akui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana yang sudah tertuang di dalam pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan terpilihnya Oesman Sapta Odang sebagai ketua Dewan Perwakilan Daerah mengenyampingkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 20P/HUM/2017 yang membatalkan peraturan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 1 Tahun 2017 tentang tata tertib Dewan Perwakilan Daerah dengan ketentuan masa jabatan ketua 2,6 tahun dan Mahkamah Agung melanggar putusannya sendiri dengan memandu sumpah Oesman Sapta Odang sebagai ketua Dewan Perwakilan Daerah. permasalahan yang di angkat dalam skripsi ini adalah bagaimana pemberlakuan peraturan dewan perwakilan daerah Nomor 1 Tahun 2017 tentang tata tertib dewan perwakilan daerah pasca putusan mahkamah agung dan status Ketua Dewan Perwakilan Daerah oesman sapta oedang yang telah di lantik oleh Mahkamah Agung RI. Metode penilitian yang di gunakan adalah penelitian hukum normatif ( normative legal research) dengan metode pendekatan Perundang-Undangan. Dari kajian yang di lakukan penulis dapat menyimpulkan bahwa Terpilihnya ketua oesman sapta oedang yang berlandaskan pada peraturan dewan perwakilan daerah Nomor 1 tahun 2017 tentang tata tertib Dewan Perwakilan Daerah itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak di akui keberadaannya karena aturan tersebut di batalkan oleh mahkamah agung dalam putusannya nomor 20P/HUM/2017 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 dan Undang-Undang MPR,DPR,DPD, DPRD (MD3) Nomor 17 tahun 2014 karna tata tertib tersebut memangkas jabatan ketua dewan perwakilan daerah yang awalnya masa periode 2014-2019 yang sudah di atur sebelumnya di dalam peraturan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 1 tahun 2014 di pangkas menjadi 2014-2017 dan mahkamah agung melanggar terhadap putusannya sendiri karna melatik oesman sapta oedang yang seharusnya mahkamah agung menunggu selama 90 hari semenjak putusan tersebut di bacakan untuk memberlakukan tata tertib tersebut secara otomatis. Kata kunci : Keabsahan, Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah, Putusan Mahkamah Agung.
AbstractionABSTRACT The authority of Regional Representative Council in making the code of conduct to control its department which is given by article 252 point 7 of Act Number 17 of 2014 about MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3), in this case the existence of it is recognized and has a binding legal strength as what have posted in article 8 point 2 of Act number 11 of 2012 about creating the rules. By being selected Oesman Sapta Odang as The Chief of Regional Representative Council, it ignores the verdict of Supreme Court number 20P/HUM/2017 canceling the Act of Regional Representative Council number 1 of 2017 about the code of regional representative council conduct with provision that the office term should be 2,6 years and the Supreme Court break its own verdict by leading Oesman Sapta Odang’s oath as the chief of Regional Representative Council. The taken problem in this thesis is how the rule of Regional Representative Council number 1 of 2017 about the code of Regional Representative Council conduct applies after the verdict of Supreme Court comes and status of the Chief of Regional Representative Council Oesman Sapta Oedang which has appointed by the Supreme Court of Republic Indonesia. The used research method is normative legal research with the legislation approach method. By the research which is done by the writer, it could be conclude that the electing of the chief Oesman Sapta Oedang which is based on the rule of Regional Representative Council number 1 of 2017 about the code of Regional Representative Council conduct has not a binding legal strength and its existence is not recognized because it has been canceled by the Supreme Court by the verdict number 20P/HUM/2017 which is not appropriate with the Act number 12 of 2011 and Act number 17 of 2014 about MD3 because its rule decries the office term of the chief of Regional Representative Council which at first it was decided for 2014-2019 period, it then changed in the Act of Regional Representative Council number 1 in 2014 which is then decreased to 2014-2017 and the Supreme Court break its own verdict by appointing oesman sapta oedang who should wait to be appointed in 90 days after the verdict has read to apply the rule automatically. Key Word : validity, the code of Regional Representative Council conduct, The verdict of Supreme Court