Detail Karya Ilmiah

  • KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA PERALIHAN AGAMA ATAU MURTADNYA SALAH SATU PIHAK DALAM PERKAWINAN
    Penulis : NIRMALA FIBRIANTI
    Dosen Pembimbing I : INDAH PURBASARI, SH., LL.M
    Dosen Pembimbing II :
    Abstraksi

    Penelitian ini merupakan studi normatif atas kewenangan Pengadilan Agama dalam memeriksa dan memutus perkara perceraian di mana salah satu pihak telah keluar dari Agama Islam (murtad). Selain masalah kewenangan, hal yang menarik dalam pembahasan penelitian ini adalah mengenai status sahnya perkawinan dari studi beberapa putusan Pengadilan Agama yang menjatuhkan talak ba’in sughro dan fasakh pada putusan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur pengesahan perkawinan salah satu pihak pindah agama. Dengan kata lain, perkawinan tetap dianggap sah selama pihak suami atau istri tidak mengajukan perceraian. Adapun Kompilasi Hukum Islam mengatur hal ini sebagai salah satu alasan perceraian namun hal ini bertentangan kaidah fiqh Islam yang menyatakan perkawinan tersebut adalah fasakh (batalnya akad dalam perkawinan tersebut). Oleh karena itu, putusan Pengadilan Agama yang memutus dengan talak raj’i dan talak ba’in sughro adalah tidak tepat. Seharusnya, Pengadilan Agama memutus dengan fasakh dan menggolongkan pengajuan perkara tersebut pada permohonan pembatalan perkawinan. Perkara tersebut tetap menjadi kewenangan Pengadilan Agama selama pihak yang mengajukan perkara adalah suami atau istri yang beragama Islam. Akan tetapi, kenyataannya Pengadilan Agama tetap menerima dan memutus perkara tersebut walaupun pihak yang mengajukan perkara adalah pihak yang keluar dari Agama Islam. Seharusnya Pengadilan Agama tidak menerima perkara yang diajukan oleh pihak yang keluar dari Agama Islam dan Undang-Undang Peradilan Agama memperjelas batasan terhadap kewenangan pada perkara perkawinan yang salah satu pihak keluar dari Agama Islam (murtad) atau memberikan pengecualian terhadap perkara tersebut.

    Abstraction

    This is a normative study on the competence of the Shari’ah Court in examining and deciding divorce case in which one party converts to another religion outside Islam (apostate). This topic is interesting to be studied not only due to the issue of the Shari’ah court competence but also the legality of the marriage status. The judge of Shari’ah court had different perspective in making the decision. Some of them decided it astalak ba’in sughro (divorce) but another decided it as fasakh (null and voided). The result of this study show that Marriage Lawdoes arrange the rule on legalization of marriage if oneparty converts to another religion. In other word, marriage does not declare as null and voided as long as husband or wife do notask for divorce. On the contrary, Islam Law Compilation arranges this matter as one of the reason of divorce. However, this arrangementdiffers fromthe norm of Islamic Jurisprudence at which the marriage is fasakh. Therefore, The Shari’ah Court which decidedtalak raj’i and talak ba’in sughro is not shari’ah compliance. The Shari’ah Courtshould decidedue to fasakh and classify that case onthe request of marriage cancellation. This case still becomes the competence of the Shari’ah Court as long as the party whose request it is Muslim. Nevertheless, the Shari’ah Court still proceeded the case though the party whose request it was not Muslim. The Shari’ah Court should notregister the case if it is requested by Non-Muslim party and TheLaw of Shari’ah Court procedure needs to clarify the limitation ofthe competence on inter-faithmarriage especially due to one party converts to another religion. Key words : Competence-Court-Divorce-Apostate

Detail Jurnal