Detail Karya Ilmiah

  • Abstraksi

    Ibadah haji merupakan salah satu kewajiban bagi umat Islam, karena termasuk Rukun Islam yang kelima. Hal ini yang menjadi faktor utama dalam pemberian fasilitas pembiayaan dana talangan haji. Salah satu lembaga keuangan syariah yang menerapkan pembiayaan tersebut adalah BMT UGT Sidogiri dengan menggunakan akad kafalah bil ujrah. Hal ini menarik untuk diteliti, sebab pada dasarnya dana talangan haji ini adalah pinjaman. Padahal ibadah haji tersebut menjadi wajib apabila umat Islam sudah istatha’ah (mampu). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh kejelasan mengenai penerapan pembiayaan dana talangan haji dari perspektif Hukum Islam dan konsep istatha’a (mampu) dalam ibadah haji. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris dengan menggunakan pendekatan fakta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa BMT UGT Sidogiri dalam penerapan pembiayaan dana talangan haji tidak mencantumkan akad qardh sebagai akad principal (pokok) dalam perjanjian kafalah haji, sehingga akad ini mengandung unsur gharar (ketidakjelasan) dan tidak terpenuhinya salah satu rukun akad kafalah. Yakni, madmun lahu (orang yang berpiutang) dan makful bihi (hutang). Akibatnya, status akad ini menjadi bathil (batal). Selain itu, pengenaan denda atas keterlambatan pembayaran memunculkan potensi riba jahiliyah. Oleh karena itu, BMT UGT Sidogiri seharusnya mencantumkan akad qardh sebagai akad principal (pokok) dan menghapus klausula pasal 10 yang tercantum dalam surat perjanjian tentang biaya keterlambatan. Pada prinsipnya, orang yang melaksanakan ibadah haji dengan cara berhutang tidak bisa dikategorikan sebagai orang yang istatha’ah (mampu) dalam aspek ekonomi. Salah satu dampak dari pembiayaan ini meningkatnya daftar tunggu atau waiting list calon jamaah haji. Oleh karena itu, pemberian fasilitas pembiayaan ini sebaiknya tidak diberikan oleh lembaga keuangan syariah, karena bertentangan dengan konsep istatha’ah (mampu). Kata Kunci : Akad, Pembiyaan, Talangan, Haji, Istatha’ah,

    Abstraction

    Hajj is one of the obligations for Muslims, because it is the fifth pillar of Islam. This is a major factor in the provision of financing bailouts of Hajj. One of the Syari’ah financial institutions which implement its finance is BMT UGT Sidogiri which using kafalah bill ujrah agreement]. It is really interesting to be analyzed, because basically this bailout of hajj is kind of loan. In fact, the pilgrimage becomes mandatory if the Muslims already istatha'ah (able). Therefore, this study was conducted to gained clarity about the application of financing bailouts of hajj from the Islamic law perspective and the concept of istatha'a (able) in the pilgrimage. The method used is empirical legal researches which use facts approach. The results of this study indicate that the BMT UGT Sidogiri in financing the implementation of the bailout of Hajj is not included qardh agreement as principal contract (main) in agreement of kafalah of Hajj, so that this agreement contained gharar (vagueness) and non-fulfillment of one of the pillars of the kafalah agreement. That is, madhmun lahu (person who indebted) and makful bihi (debt). The effect of it is that the state of this agreement is Bathil (rejected). The penalty for late payment will bring a jahiliyah’s [prohibited] interest. Because of this, BMT UGT Sidogiri must publish qardh agreement for principal contract (main) and repeal a clause of article 10 which listed on the late payment contract. On the principle, people who go to hajj by debt ways cannot be categorized as people who have istatha’ah (able) in economic aspects. One of the impacts of this payment is the enhancement of waiting list of pilgrimages prospective. Keywords: Agreement, Finance Bailouts, Hajj, Istatha’ah [capable]

Detail Jurnal